Saat jomblo, ini pertanyaan yang paling pengen saya tanyain ke temen-temen yang udah married.

“Kok lo bisa yakin nikahin tu orang?”

“Kalo salah gimana?”

“Ada kriteria gitu ga sih?”

“atau mungkin lo dapet feeling gimana sampe bisa yakin?”

Saya dapet beberapa versi jawaban dari temen-temen yang sudah menikah. Cukup memberikan insight.

Sampai akhirnya, saya merasakan sendiri. Melalui proses itu. Menemukan “why”-nya. Saya menikahi wanita pilihan dan ga ada keraguan sama sekali. Saya menikah di tahun 2020, di usia 38 tahun. Istri saya usianya 30 tahun.


Nah, untuk menjawab pertanyaan, “how do you know if he/she is the one for you?”, kita perlu flashback dulu ke masa lalu saya. Silakan baca “Why Did I Get Married?” agar lebih relate dengan transformasi cara berpikir saya.

Setelah itu, lanjutkan membaca 👇.

Kalo males baca, silakan langsung ke bagian TLDR (too long didn’t read) di bawah.


How Pertama: Saya fokus pada apa yang saya mau, bukan pada yang saya tidak mau.

Selama bertahun-tahun, saya tanpa sadar selalu melihat hal-hal yang tidak saya inginkan ketika mencari pasangan. Saya punya kriteria spesifik mengenai wanita yang gak cocok untuk saya. I know what I don’t want.

Tak jarang, ketika menemukan kualitas (yang saya rasa) jelek dari wanita, itu akan langsung saya tambahkan ke kriteria, trus dijadikan alasan untuk mundur.

Ketika sudah melalui bertahun-tahun petualangan. Bertemu banyak orang dengan berbagai latar belakang, menjadi jelas, apa sebenarnya yang saya cari.

Saya mencari kualitas. Saya fokus untuk nge-checklist kriteria yang saya suka.

Saya gak lagi mencari masalah. Saya melihat peluang.


How Kedua: Mental state kami berdua sudah sama-sama ingin serius

Saya dan istri udah gak pengen sekedar pacaran lagi. Ketika deket sama orang, arahnya ya pernikahan. We both know that very well and wouldn’t settle for less. So, we are both on the same page.

Ini yang bikin jauh lebih mudah ketika memutuskan apakah “she is the one” atau engga. Tujuannya udah sama.


How Ketiga: Tiap hari ketemu, yang dibahas yang berkualitas

Selama pacaran, kami tiap hari bertemu, makan bareng setelah jam kantor, saya ke rumah dia atau dia maen ke rumah saya. Beberapa hari gak ketemu karna saya atau dia ada urusan kerjaan di luar kota. Sisanya, pasti bareng.

Yang dibahas saat bertemu, apapun yang kami perlu tau tentang masing-masing. Quality talks gitu. Kami mulai dari memperjelas niat masing-masing dalam hubungan, trus confess tentang masa lalu yang kiranya saya atau dia perlu tau (agar gak jadi kejutan di masa depan), trus mengenal pola pikir, cara problem solving, money habit masing-masing, tentang parenting style kalo punya anak, mengenal keluarga juga, banyak.

Kami ga punya checklist, tapi yang jelas, semakin hari, semakin banyak yang dicocokin.


How Keempat: She is the missing piece of my puzzle

“Dia itu seperti potongan puzzle yang terakhir”, itu jawaban saya saat Wedding MC nanya apa yang saya suka dari istri.

I really think finding a girlfriend is hard. Let alone a wife.

Ada banyak sekali hal-hal yang bisa menggagalkan PDKT. Terlalu banyak. Ngobrol gak nyambung, Jokes ga masuk, gak cocok di sifat, di keluarganya, di masa lalunya, di cara dia kelola emosinya, di kebiasaan dia mengelola keuangannya, di ekspektasi hidupnya, lingkungan pergaulannya, macem-macem.

Sejak saya berubah menjadi “Dedy 2.0”, saya deket ke beberapa wanita dan ga ada yang bisa bener-bener click.

Ketika proses mengenal istri, strangely, things went pretty smooth. Kaya ngepas aja. Bahas ini itu sama dia, hampir semua align dengan value yang saya punya.

Kalopun ada yang ga cocok, I asked myself this question, “Apakah saya terganggu dengan hal ini? Am I okay with it? Am I really really really okay with it?

Jawabannya, “yes, I am okay, I can live with that side of her”.

Ada juga yang jawabannya, “Nope, I am not okay”, tapi akhirnya saya bahas ke dia dan kita dapet solusinya.

So, yeah, she completed my puzzle.


How Kelima: I can be myself when I am with her and She can too

Dalam hubungan yang kami jalani, tidak ada banyak aturan yang harus diikuti. Apa yang saya lakukan, ga mengganggu dia. Apa yang dia lakukan, ga mengganggu saya. Saya ga harus takut dia marah. Dia pun begitu.

Kami tidak harus berubah menjadi orang lain untuk menyenangkan pasangan. Kami bisa menjadi diri sendiri and that’s enough.


TLDR (buat yang males baca panjang):

Saya sudah “selesai” dengan diri saya. Tau dengan jelas apa yang saya inginkan dalam hidup, yaitu “meaningful long lasting relationship”. Saya mulai melihat orang lain dengan kacamata yang lebih jelas.

Ketika PDKT, saya sudah tau apa yang saya mau. Saya punya kriteria pasangan ideal. Selama pacaran, kami membahas hal-hal tentang pasangan untuk menemukan kecocokan. Selama proses itu juga, ternyata kami bisa menjadi diri sendiri tanpa harus berpura-pura menjadi orang lain. Kami bisa saling menerima.


I believe this is a unique process. Tiap orang akan menemukan jawabannya sendiri-sendiri. Jalan yang dilalui untuk sampai ke tujuan masing-masing juga akan berbeda.

Menemukan pasangan hidup itu sama sekali tidak mudah. At least for me. It’s important to know what you want. It’s also important to not waste our/their time.

Good luck!