Pelajaran tentang “diam dan dengarkan” saya dapat pertama kali dari teman saya, Edi Liem. Saat itu usia saya 20an tahun dan baru pertama kali ikut meeting dengan orang-orang “besar”.

Teman saya punya kepentingan. Butuh bertemu dan membahas hal-hal penting. Saya berada di sana untuk mendampingi sesuai kapastias keahlian saya. Sekaligus untuk belajar. Untuk mendapatkan pengalaman. Yang mungkin tidak semua orang bisa mudah dapatkan.

“Diam dan dengarkan” ternyata penting.

Untuk tidak tiba-tiba nyeletuk hal-hal gak penting.
Untuk tidak tiba-tiba ngeluarin komentar-komentar gak nyambung.
Untuk tidak tiba-tiba ngasi tau info yang salah.
Untuk tidak tiba-tiba mengacaukan proses negosiasi mereka.
Untuk tidak tiba-tiba membuat teman saya di posisi lemah.

Hingga hari ini, puluhan tahun sejak pelajaran itu saya pahami, ternyata masih sangat relevan.

Ketika mendampingi partner saya untuk proses serupa, saya lebih banyak “shut up and listen”. Ketika saya bukan aktor utama dalam pertemuan tertentu, saya hanya duduk dan memantau saja. Setiap ingin bicara, saya proses dulu berkali-kali di kepala.

Penting?
Memberi manfaat?
Membantu posisi tawar kita?
Membuat kita terlihat lebih baik?
Situasinya cocok untuk saya berbicara?

Above all, kalo saya ngomong, will it make any difference?

Jika jawabannya “tidak”, maka saya diam sampai ditanya.