For about 7 years since my last committed relationship, I chose to have casual non-committed ones.

I said to a few friends,

“I am tired”.

“I don’t want to start all over again”

“It’s better this way.”

I am free.”


Saya sering traveling. Mengunjungi hampir semua negara di Asia Tenggara (kecuali East Timor) and a few other countries in between. Saya juga aktif WFA (work from anywhere) di kota dan negara manapun yang saya suka.

“Kapan berhenti berpetualang?”, tanya adik saya, Amel, saat dia tau saya deket (lagi) dengan seorang wanita.

Saya ga ingat menjawab apa ke dia, tapi hidup bebas sebagai single, punya hubungan tanpa komitmen, semakin lama semakin menarik. Saya bisa kemana saja, melakukan apapun, bertemu dengan siapapun, ga ada yang protes.

Candu, mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan betapa saya suka lifestyle seperti itu selama beberapa tahun.

Traveling membuka banyak pengalaman-pengalaman baru. Dengan bantuan aplikasi pertemanan dan dating online, seperti Tinder, saya semakin lupa arah jalan pulang. Selalu bertemu orang baru. Ga pernah kesepian selama traveling.

Beberapa jadi teman. Beberapa lagi, jadi lebih dari sekedar teman.

My life on the road was full of excitements.


Tapi, setiap kali pulang ke rumah, terbaring di kamar minimalis ku, I felt empty. Like going back to square one. Ini yang bikin saya selalu merencanakan petualangan berikutnya. Hidup butuh diisi dengan pengalaman baru.

“Asik sekali hidup mu bro. Kalo bisa, pengen juga kayak elu, so much fun“, kata seorang teman yang sudah menikah.

Nah, saya masih ingat jawaban saya ke dia…

“What you have is real bro. Your wife, your kids, your family. What I experience now is vague. It’s gone once I return back home. I feel empty. I have nothing”.

I didn’t say that to make him happy. Emang itu perasaan yang saya punya. Tapi ketika turun lagi ke jalan, I forget about it all. I feel the excitement once again.


Fast forward ke awal tahun 2019, saya melakukan trip 2 minggu ke Laos dan Thailand sebelum imlek. Iya, melarikan diri dari awkward conversation tentang kapan punya pacar? kapan nikah? Hahaha.

Suatu siang, saya duduk sambil makan di sebuah cafe di Bangkok. Di depan saya, duduk seorang pria. Saya rasa usianya 50-60 tahun. Dia sedang berbicara di telpon.

“Saya di sini sendiri, baik-baik aja kok. Ga usah khawatir. Di rumah gimana? Udah pada sibuk persiapan imlek?”

Dari bahasanya, si Bapak ini orang Taiwan, yang saya tebak, sudah beberapa tahun tinggal di Bangkok.

“I don’t wanna be old and sitting alone in a foreign country, calling back home days before CNY. It feels miserable to me”, itu pikiran yang muncul di kepala saya saat itu.

Selesai makan, saya berjalan ke Sathorn Pier, berpapasan dengan seorang pria bule yang membawa ransel, berusia lebih tua dari pria Taiwan tadi dan pikiran yang muncul di saya adalah, “I don’t wanna be old, still traveling alone, not knowing what I want in life, it’s miserable!”

Of course, I don’t know how those two gentlemen really feels about their life. Cuma melihat mereka, seketika bikin saya semakin menyadari apa yang akan terjadi di hidup ku jika terus punya lifestyle begini. and I don’t want that.


Satu hari sebelum imlek, masih di Bangkok, saya janjian bertemu temen di Siam Paragon untuk makan siang bareng. Kebetulan kantornya deket ke sana dan saya bebas kemana-mana.

“Sorry, I can’t accompany you longer today, I need to go back home to have CNY dinner with my parents”, dia berkata saat kami menikmati makan siang ala Thai.

That day, I remember feeling alone, again.

I was traveling, should have felt the excitements like I usually have, but I didn’t.

This trip, somehow, amplifies my emptiness. I never really felt lonesome like this before.


Balik dari Bangkok, saya harus kembali terbang ke Batam. Ada meeting request dari calon client di sana. Setelah meeting, saya ga tau harus ngapain. 😁 Saya emang ga pernah beli tiket pulang. Jadi masih membuka opsi bebas kemana.

Saya ga punya ide apa-apa, jadi lebih banyak menghabiskan waktu di kamar hotel. Keluar hanya untuk makan.

Hari kedua di Batam, Sabtu, 16 Februari 2019, I remember laying on the bed, feeling an extreme boredom. Felt tired. Felt sick of the lifestyle I had. I didn’t wanna do it anymore.

Malam itu, saya putuskan berhenti berpetualang. Berhenti mencari kebahagiaan semu. Undur diri dari dunia yang selama bertahun-tahun saya kenal. Turns out, I don’t belong there.


Saya masih ingat, dini hari, jam 1 pagi, saya booking tiket pulang ke Pekanbaru.

Minggu, 17 Februari 2019, duduk di bandara Hang Nadim, saya merasakan hidup ini ringan banget. Pikiran juga sangat tenang. Ga ada beban. Ga ada kebisingan di kepala. Ga ada grasa-grusu krasak-krusuk harus mencari pengalaman baru.


“Dedy Ong 2.0”, saya berujar ke seorang teman.

“I am different now”, tambah saya lagi.


Saya menjadi orang…

Yang mencari genuine meaningful relationship.

Yang ingin punya partner untuk berbagi kebahagiaan.

Yang sudah tau, apa yang saya mau.


I said to a few friends,

“I am tired”.

“I don’t want to do that anymore”

“It’s better this way.”

“I feel free”.