Lagi di panti pijat, trus terapisnya ngomongā€¦

“mau pake aromaterapi yang lavender atau rosemary ko?”
“oh, lavender aja”, ku jawab dengan ragu-ragu.

Pas selesai dan bayar, eh ternyata aromaterapi itu nambah lagi puluhan ribu. šŸ˜‚

“Lho, kok bayar lagiiiā€¦ kirain udah termasukā€¦”, ku berkata dalam hati, sambil membayar.


Lain waktu saat di coffee shop, mba baristanya ngomongā€¦

“pake sirup hazelnut atau vanila ko?”
“oh, hazelnut saja”, ku jawab walaupun ragu-ragu.

Pas selesai dan bayar, eh ternyata Sirup itu nambah lagi puluhan ribu. šŸ˜‚

“Lho, kok bayar lagiiiā€¦ kirain udah termasukā€¦”, ku berkata dalam hati, sambil membayar.


Lain waktu, saat ditanya sama konsultan kuā€¦

“ko, ini suratnya mau diurus aja sekalian?”
“oya, bisa ya dibantu? boleh deh”, ku jawab, walaupun agak was-was.

Pas selesai dan muncul tagihan, eh ternyata surat yang itu nambah lagi 500 ribu. šŸ˜‚

“Lho, kok bayar lagiiiā€¦ kirain udah termasukā€¦”, ku berkata dalam hati, sambil membayar.


Dalam dunia penjualan produk dan jasa, hal ini disebut dengan istilah ā¬†ļø “upsell”. Menjual aksesoris atau layanan tambahan agar pelanggan membayar lebih. Udah biasa. Saya paham.

Tapi sering kali caranya kurang asik. Bertanya dengan cuma ngasi pilihan, seakan-akan yang ditawarin itu udah termasuk paket. Ga ada info kalo ada biaya tambahan lagi. Bagi customer baru, atau yang gak tau, jadinya merasa terjebak.

Sejak itu, setiap kali saya ditawarin pilihan, pasti nanya dulu, “ini bayar lagi atau udah termasuk harga yang tadi?”


Di bisnis saya, sebenarnya saya cukup sering mendengar jawaban pelanggan seperti itu.

Di saat meeting, client ngomongā€¦

“Ko, di aplikasi, aku minta ditambahin fitur untuk tim ku bisa cek stok masuk keluar dengan mudah ya”

Ku jawab, “Oh siap. Bisa kita tambahkan. Nanti ku minta dibikin ke tim programmer ku. Ada biaya sekian juta ya untuk fitur baru itu”

Biasanya dia akan meresponā€¦

“Lho, kok bayar lagiiiā€¦ kirain udah termasukā€¦”, trus menolak membayar.

Serupa kan? Tapi tak sama. šŸ˜