“Selama kita mau bekerja, disana selalu ada lapangan pekerjaan. Tidak usah peduli berapa bayarannya dulu. Yang penting kerja”, ujar Bapak setengah baya di sebelah saya ketika pesawat sudah memasuki udara Malaysia siang itu.


Sambil mengeluarkan kartu yang sempat saya foto itu, Beliau menjelaskan, “Saya masih warga negara Indonesia, tapi sudah menjadi penduduk tetap di Malaysia”.

“30 tahun saya disana. Bekerja di berbagai negara bagian, berbagai pekerjaan, berpindah-pindah. Saat ini bekerja di perusahaan kontraktor bangunan”, Pak Mois tanpa ragu menceritakan ke saya.

“Saya pulang kali ini ke Bangkinang untuk menikahkan anak. Lepas tu balik lah lagi kat Kelana Jaya. Kerja. Tiap bulan kirim duit ke anak istri”, dengan Bahasa Indonesia yang sudah lebih banyak bercampur dengan bahasa Melayu saya mendengarkan Pak Mois terus bercerita.


Pak Mois adalah potret warga Indonesia yang nekad mengadu nasib di negri orang. 1980 adalah tahun ia masuk ke Malaysia melalui tanjung pinang. Hidup tidak mudah, tapi Beliau jalani dengan semangat bekerja.

Setelah menikah, Beliau dan istri punya 5 anak (mereka tinggal di Bangkinang, tidak ikut ke Malaysia) yang seluruhnya dibiayai dengan bekerja menjadi buruh harian di Malaysia.


“Kapan akan berhenti dan pulang, Pak?”, tanya saya. “Sampai badan ni tak sanggup, balek lah. Tapi saya dah lama di Malaysia. Tak tau nak buat apa di Indonesia. Tak reti. Tak ada kawan juga”, jawab Pak Mois sambil tertawa kecil.


Semoga Pakcik Mois tetap sehat dan terus semangat bekerja. Saya bisa merasakan semangat Pria berumur 25 tahun di diri Pak Mois yang sudah berumur 56 itu.

Kami berpisah sesaat setelah keluar dari pesawat. Pak Mois melambaikan tangan kemudian berlari meninggalkan saya. Tidak jelas apa yang Beliau kejar, tapi saya beruntung mendapatkan semangatnya siang itu.

Terima kasih Pak! Till we meet again.