“Di Agama Buddha, kita ga bisa bertobat?”, tanya istri ku dengan wajah ga percaya.

“Iya, kita gak mengenal istilah tobat kalo di Buddhism”, I repeat it again so that she knows I am dead serious about it.


Ya kalo dalam konteks manusianya mau bertobat trus dia janji gak akan ngulangin kesalahan, ya ada. Itu di semua agama juga pasti menganjurkan.

Tapi dalam konteks, kita bertobat, mengakui kesalahan, bersungguh-sungguh menyesal dan kemudian semua dosa akibat dari perbuatan kita dihapuskan, ya gak ada dalam Agama Buddha.


We go by karma.

Apapun yang kita tuai, itu yang kita tanam. Eh, kebalik. Pokoknya gitu.


Jadi, akibat buruk dari sebuah perbuatan jahat, pasti akan tetap ada. Seperti bayangan yang selalu ada dan mengikuti kita. Karma baik atau buruk, akan membuahkan hasil yang sesuai.


“Kapan hasil perbuatan akan kita rasakan?”

“Ada 3 masa untuk matangnya buah karma: langsung saat itu juga, di masa depan, dan di kehidupan mendatang (setelah kita reinkarnasi)”

“Gimana agar perbuatan jahat kita gak membuahkan hasil yang buruk?”

“Ya ga bisa. Pasti akan berbuah. Cuma ga tau kapan”.

“Bisa diminimalisir gak?”

“Bisa. Dengan cara melakukan jauh lebih banyak perbuatan baik. Jadi karma jahat mu, gak sempat berbuah. Ada terlalu banyak perbuatan baik yang lagi antri untuk dituai, yang buah jahat, jadinya nunggu dulu”

“Suatu hari yang buah jahat pasti dapat giliran dong?”

“Ya tetap. Gak expired”


This is why I love the karma concept. It’s a fair game.