Thoughts & Memories of Small Retirements Throughout Life.

Happiness Project

Ketika kita tua renta, apa yang kita rasakan? Ketika kulit mulai keriput, tenaga mulai lemah, otot tidak lagi sekuat dulu. Ketika semua yang muda sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Apa yang masih kita harapkan?

Ini kisah tentang hidup nenek saya dan bagaimana saya menyusun sebuah rencana sederhana yang saya namakan “Happiness Project untuknya. Tanpa ia ketahui bahkan hingga saat ini, 10 tahun setelah Beliau meninggal dunia.


Ma, Ah Ma adalah orang yang hebat”, saya tiba-tiba membuka pembicaraan dengan nenek saya.
“Seorang diri bisa menghidupi keluarga dengan 9 anak. Tidak semua orang bisa melakukannya”, saya kembali melanjutkan.

Nenek saya, Mira, menghidupi dirinya dan 9 anak, termasuk papa saya (anak ke-3). Bercerai dari suaminya membuat Beliau tidak berlama-lama larut dalam sedih.

“Kamu pengen bikin saya senang yah?”, balas Ah Ma tanpa melihat ke arah saya. Matanya tetap tertuju pada TV yang sedang menayangkan serial tv drama Taiwan favoritnya. Terlihat senyumnya mengembang.

“Haha. Gak kok. Saya benar-benar merasa Ah Ma luar biasa”, saya melanjutkan.

Tidak ada kalimat lain yang keluar dari Beliau. Hanya sepasang mata yang tersenyum. She was not the type of person who receive compliments often and of course, didn’t know how to respond to it. For me, telling her that, was something I wanna do for years. I am glad I did.


Lahir tahun 1928 di sebuah pulau kecil bernama Kinmen, yang sebenarnya lebih dekat ke daratan China tapi masuk wilayah Taiwan. Keluarga nenek saya lebih menyukai anak laki-laki ketimbang perempuan. Well, the typical chinese family. Anak laki-laki meneruskan marga keluarga selalu dianggap lebih ‘berharga’ ketimbang perempuan. Setidaknya pada jaman itu.

Having said that, nenek saya diberikan kepada keluarga ‘ong’ (keluarga kakek saya) untuk dijadikan menantu sejak lahir. Dia terpisah dari 9 saudaranya yang lain. Masih tinggal di satu pulau, tapi sudah berbeda rumah.

Penjajahan Belanda membuat banyak keluarga di Kinmen melarikan diri. Di keluarga kakekku, hanya beberapa orang yang merencanakan akan keluar dari Kinmen dan mencari hidup baru di negara lain. Nenek saya saat itu berusia 8 tahun and she was not in the list.

“Saya gak tau mereka akan pergi dengan kapal”, kenangnya suatu hari. Bercerita tentang masa kecilnya, emang sering Beliau lakukan. Saya bahkan mendengar cerita ini sudah entah berapa kali.

“Saat itu saya lagi main di pinggir sungai. Tiba-tiba, ada seorang pria yang kakinya pincang datang menghampiri dan meminta saya segera ikut dia”.

“Saya digendong di belakang punggungnya dan dia terus berlari menuju dermaga, mengejar kapal yang sebentar lagi akan segera berangkat”.

Long story short, Ah ma berhasil bertemu dengan keluarga kakek ku yang melarikan diri, dan berlayar menuju harapan baru. Kehidupan baru. Tanah baru. Negeri baru. Cerita baru. Yang saya yakin, saat itu, dia pun belum mengerti.

Mereka berlayar menuju Singapura, sempat menetap selama 3 bulan, trus akhirnya datang ke Riau, karena sebelumnya sudah ada keluarga yang datang ke sini untuk berdagang.


Bertahun-tahun, Ah ma selalu mengenang jasa pria berkaki pincang yang membantunya saat itu. Beliau selalu ingin pulang dan mencari orang yang berjasa mengubah hidupnya. Tapi hingga perjalanan terakhir kami di tahun 2010 ke Kinmen, she didn’t meet him. I wasn’t sure if she knew him and if he was still alive back then.


“Orang bilang menikah, ya sudah, kita ikut aja, padahal ya ga ngerti apa-apa”, ujar Beliau.

Sesuai rencana, nenek saya akhirnya menikahi kakek, yang sejak kecil hidup bersama.

Pernikahan dengan perjodohan sejak lahir dan masalah perselingkuhan, adalah dua dari sekian banyak alasan, kenapa akhirnya nenek dan kakekku berpisah. I didn’t get to know my grandpa at all. He left when my father was still young. Kakekku akhirnya menikah lagi. I lost count as to how many more women he got married to. I think it was 5 in total. My grandma was his first.

Sejak berpisah, my grandma was on her own. Kakek ku ga menafkahi mereka. Ga menjalankan tanggungjawabnya. She has to fight for herself and 9 kids, no other choice.


Perjuangan untuk bertahan hidup dan mencari uang, tidak cuma saya dengar dari cerita nenek, tapi kami rasakan sendiri sejak kecil. Hingga saya SD, nenek masih berjualan keripik cabe. Kami cucu-cucunya sering ikut membantu membungkus keripik yang sudah selesai disambel.

Berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain itu sudah biasa. Hidup sangat sederhana. Seiring waktu, ekonomi keluarga semakin baik. Anak-anaknya semakin dewasa dan masing-masing sudah bisa bekerja dan menghasilkan. Beban Beliau sudah tidak sebesar dulu.


Di masa tua, bisa dibilang, Ah ma sudah tidak punya beban hidup. Kebutuhannya sudah tercukupi dari uang bulanan dari papa. Semua anak-anaknya telah menikah. Beliau tinggal di rumah yang dibeli papa saat saya kelas 4 SD bersama dengan 8 cucunya (termasuk saya dan 3 adik).

Saya tinggal serumah dengan nenek sejak lahir. Saat berusia 0 hari. Saya selalu mendapat julukan “cucu emas” karna emang sejak kecil, lebih diistimewakan oleh Beliau. Momen saya meninggalkan rumah adalah saat mulai kuliah. Kemudian saat sudah memulai usaha.

Terasa banget, waktu bersama Ah ma sudah sangat terbatas. Melihatnya hanya di rumah, duduk di kursi santai di kamarnya sambil menonton drama Taiwan, tanpa banyak aktifitas, dalam pikiran saya, masa tua seharusnya tidak seperti itu.


I wanted my grandma to be happy. I wanted to think and act on her happiness. Saya ingin menjadikan kebahagiaan Beliau menjadi project saya. Hence, I named it “Happiness Project”.

The happiness projects started with me studying my granny. I learned about how she thinks. Learned about things she worries. Learned about stuffs she wants to do. Learned about her favorite foods. I learned about which “no” she said that actually means “yes”. Yep, they are different.

These things were written on my blackberry with “Happiness Project” as its title.


Beli makanan dan minuman favorit

Saya akan membuka daftar makanan favorit Beliau dan membelikannya. Ini saya lakukan 2-3x dalam seminggu setiap sore setelah jam pulang kantor. Terjadwal dan sesuai planning. Cakue dan jus pokat adalah dua dari beberapa makanan favoritnya.

Setelah Beliau meninggal, saya ngobrol bareng sepupu yang setiap hari tidur bareng nenek ku. Dia bilang, selama ini mereka pikir saya beli makanan itu ya random aja.


Menemani nonton Taiwan Drama

Setiap sore, saya akan ke rumah nenek dan nemenin Beliau nonton drama. I don’t rush to go back office. Yep, sejak buka usaha, saya tidurnya di lantai atas kantor. Dia sering jelasin bagian-bagian yang saya lewatkan. Setelah itu, baru lah saya pulang.


Beli barang yang diinginkan

Saya mencoba mencari tau apa yang Beliau ingin punya. Secara langsung atau dari keluarga lain. If I can afford it, I buy for her. Like the lazy chair she liked.


Menemui keluarga dan temannya

Saya mendata keluarga dan teman yang sudah lama tidak ditemui. I brought her there. Biarin mereka ngobrolin good old days. Saya duduk dan dengerin mereka bercerita. Selama yang mereka mau. Sepanjang yang mereka butuh.


Sadar kalo Beliau takut membebani cucu-cucunya

Kebanyakan orang tua, berpikir bahwa mereka adalah beban untuk yang muda. Mereka takut minta ditemenin. Mereka takut bikin repot. Mereka ga mau ganggu aktifitas kita. Mereka khawatir kerjaan kita terganggu karna mereka butuh sesuatu.

I am lucky to realize this early.

Ah ma berjalan lebih lamban. Wajar untuk orang tua yang sudah 70 tahun. Hal ini bikin dia sering males kalo diajak keluar. Saya tau dari mana? Menyimpulkan dari percakapan dengan Beliau. Menghubungkan titik-titik selama pengamatan saya.

Sejak sadar itu, saya selalu ngajak Beliau untuk keluar rumah. One time, saya ajakin makan pizza. Dia sukaaa banget pizza. Awalnya dia nolak. Tapi saya tau, dia lagi-lagi gak mau merepotkan. Terlebih, dia ga mau duit cucunya habis buat nraktir pizza yang menurutnya mahal.

Saya tetep ajak Ah ma pergi. She did. Saat berjalan dari mobil ke resto, I held her hand tight. Walked by her side. Langkah kaki saya samakan, pelan, tidak terburu-buru. I wanted her to feel at ease. I wanted her to enjoy her time. I wanted her to not feel she is a burden.

Hari itu, dia makan pizza dengan gembira. We chat a lot too! I remember confessing about that one time I lied to her. I will write about that separately.


Membawanya kembali ke kampung halaman

Tahun 2010, saya arrange penerbangan ke Taipei dan Kinmen, Taiwan. Back to her hometown, bareng papa dan adik bungsu juga. Selama 2 minggu, saya tidak punya itinerary pribadi. Misinya jelas: membawa Ah ma bertemu dengan keluarga di sana.

Ah ma balik ke rumah lamanya di Kinmen. Bertemu kembali dengan semua sanak saudara yang masih ada. Pada ngumpul. Makan-makan bareng. Bertanya kabar dan berbagi cerita.

Ah ma bertemu kakak kandungnya yang sudah berumur 90 tahun, for the first time in their life. Keduanya sama-sama “dibuang” ke keluarga lain. Jadi sejak lahir telah terpisah. Pertemuan mereka berdua sangat mengharukan!

Ah ma sempat berdoa di makam neneknya yang dulu jagain dia. She was very happy! I was happier!


Meminta maaf atas kesalahan saya

Saya memendam 2 penyesalan dalam hati. Things I did to her when I was young and I am not proud of. Confessing it and said sorry was part of the happiness project. Not for her, but for me. I need to lift this heavy burden away.

Respon Ah ma, “aduh, Ah ma bahkan sudah gak ingat itu”.

I felt relieved.


Memuji atas ketangguhan Ah ma

(Sudah saya ceritakan di bagian kedua postingan ini. Scroll ke atas jika lupa).


Malam itu, 9 Maret 2011 jam 19:42 wib, seperti biasa, saya sedang nemenin Beliau nonton drama Taiwannya. Tiba-tiba kepikiran untuk mengambil sepotong video untuk dikenang. A video of her, for me, to remember her.


Untuk membahagiakan orang-orang yang penting dalam hidup, kita bisa secara sadar melakukan planning and execute. Life is short, so make it counts. Make them happy to make ourselves happier.

Mira Zhang. 1928 – 2011. Rest in Peace, Ah ma. I miss you. Always.


Tulisan ini baru saya selesaikan 20 Oktober 2021 Jam 12:13 wib. Dengan 23 kali revisi, ternyata menulis tentang Ah ma itu sulit. Kenapa baru 4 tahun kemudian bisa saya selesaikan? Karna tiap menulis, pasti air mata gak sadar jatuh sendiri. Dada juga terasa perih. Mau gak mau harus berhenti. Trus terlupakan juga. Ini sudah percobaan berapa kali untuk menulis. Untunglah selesai.

« »